Perjanjian Roma 1962: Saat Nasib Papua Ditentukan Tanpa Kehadiran Orang Papua

Tiga Babak Sejarah Papua: Dari Kolonisasi Belanda Hingga Perjanjian Roma Ilegal yang Kontroversial

Doct AMP: Memperingati Perjanjian Ilegal 63 Th Roma Agreement | Selasa-Bali, 30 September 2025

Sejarah Papua adalah sebuah narasi kompleks tentang intervensi asing, janji kemerdekaan yang tak terpenuhi, dan manuver politik tingkat tinggi yang dampaknya terasa hingga hari ini. Untuk memahaminya, kita perlu melihat tiga babak penting dalam sejarah modern Tanah Papua: kolonisasi, dekolonisasi, dan re-kolonisasi.

Babak 1: Kolonisasi oleh Belanda (Awal 1800-an - 1949)

Pada abad ke-19, Papua menjadi rebutan kekuatan Eropa. Belanda keluar sebagai pemenang dengan mengklaim bagian barat pulau ini pada tahun 1828. Namun, ada satu hal penting yang perlu dicatat: Belanda sejak awal memperlakukan Nugini Belanda (nama saat itu) secara terpisah dari Hindia Belanda (Indonesia).

Poin-poin Kunci:

  • Perbedaan Etnis dan Budaya: Belanda menyadari bahwa orang Papua berasal dari rumpun Melanesia-Pasifik, yang secara etnis dan budaya sangat berbeda dari masyarakat di kepulauan Indonesia.

  • Pengecualian Administratif: Karena perbedaan ini, Papua tidak pernah secara resmi dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Hindia Belanda. Bahkan, tokoh proklamator Mohammad Hatta pernah menyatakan bahwa "orang Papua bukanlah orang Indonesia" dan berhak atas negara mereka sendiri.

  • Absen dalam Kemerdekaan Indonesia: Saat Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 yang mengalihkan kedaulatan kepada Indonesia, status Papua sengaja tidak dimasukkan. Disepakati bahwa nasib wilayah ini akan dirundingkan nanti, dan untuk sementara tetap berada di bawah kendali Belanda.

Babak 2: Dekolonisasi, Sebuah Janji Kemerdekaan (1949 - 1961)

Setelah Indonesia merdeka, Belanda mulai mempersiapkan Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, sejalan dengan semangat dekolonisasi yang diamanatkan oleh Piagam PBB. Proses ini berjalan serius, di mana Belanda berinvestasi dalam pendidikan dan pembentukan pemerintahan lokal untuk mempersiapkan Papua menjadi sebuah negara merdeka.

Namun, proses ini tidak berjalan mulus. Indonesia, di sisi lain, memandang Papua sebagai bagian dari wilayah warisan Hindia Belanda yang harus dibebaskan dari sisa-sisa kolonialisme. Perselisihan antara Den Haag dan Jakarta mengenai status Papua pun memanas.

Babak 3: Re-kolonisasi Melalui Perjanjian Internasional (1962 - 1969)

Di tengah ketegangan politik global, nasib Papua dibelokkan oleh dua perjanjian internasional yang dibuat tanpa melibatkan satu pun perwakilan orang Papua:

  1. Perjanjian New York (15 Agustus 1962): Dibuat di bawah tekanan Amerika Serikat, perjanjian bilateral antara Belanda dan Indonesia ini memutuskan bahwa Belanda harus menyerahkan administrasi Papua kepada Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA), yang kemudian akan menyerahkannya kepada Indonesia.

  2. Perjanjian Roma (30 September 1962): Perjanjian ini menegaskan kembali dan mengatur detail teknis dari Perjanjian New York. Salah satu pasal krusial (Pasal 14-21) mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang seharusnya dilakukan berdasarkan praktik internasional, yaitu satu orang, satu suara (One Man One Vote).

Poin-poin Kontroversial:

  1. Pengabaian Suara Rakyat Papua: Kedua perjanjian ini secara fundamental mengubah nasib sebuah bangsa tanpa berkonsultasi dengan mereka, sebuah tindakan yang bertentangan dengan prinsip dekolonisasi PBB.

  2. Kontrak Freeport Sebelum PEPERA: Ironisnya, sebelum hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua dilaksanakan, pemerintah Indonesia telah menandatangani Kontrak Karya pertama dengan perusahaan tambang Amerika, Freeport, pada 7 April 1967. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah status wilayah Papua sudah diputuskan bahkan sebelum rakyatnya diberi kesempatan memilih?

  3. Pelaksanaan PEPERA 1969 (Penentuan Pendapat Rakyat): Proses yang seharusnya menjadi "Act of Free Choice" (Pilihan Bebas) ini justru dijalankan dengan sistem Musyawarah, bukan One Man One Vote. Dari sekitar 800.000 orang Papua yang berhak memilih, hanya 1.025 orang yang dipilih untuk mewakili. Proses ini banyak dikritik karena sarat dengan intimidasi, ancaman, dan manipulasi oleh militer Indonesia untuk memastikan hasilnya adalah integrasi dengan Indonesia.

Kesimpulan: Sebuah Urusan yang Belum Selesai

Pengalihan Papua ke Indonesia adalah sebuah "re-kolonisasi" yang dilegitimasi oleh perjanjian internasional yang cacat secara hukum dan moral. Proses dekolonisasi yang seharusnya dipandu oleh Piagam PBB sengaja dibelokkan, dan hak suci rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri tidak pernah benar-benar terwujud sesuai standar internasional.

Akibatnya, sejarah ini meninggalkan luka dan konflik yang terus berlanjut, menjadikannya sebuah urusan dekolonisasi yang, menurut banyak pihak, masih belum selesai hingga hari ini.


Dock: Diskusi memperingati 63 Th Perjanjian Roma Agreement
Doct AMP: Diskusi-Memperingati 63 Th Perjanjian Roma Agreement | Bali, 09 September 2025

Beberapa catatan saat diskusi bersama :

"Sekalipun dulu Belanda didik orang papua di sisi lain Belanda secara diam-diam mengeruk kekayaan orang Papua saat itu".

"PEPERA yang di lakukan pada tahun 1969 dilakukan secara tidak demokratis yang di mana harusnya di lakukan secara demokratis sesuai dengan perjanjian Roma Agreement (one men-one voute) satu orang-satu suara dari 80000 ribu lebih orang Papua namun yang di pilih 10000 ribu lebih orang papua dan di masukkan ke karantina menjadi 175 orang Papua, itupun di lakukan di Bawah tekanan dan intimidasi dari TNI yang dikirimkan untuk mengamankan jalannya PEPERA".


#Hancurkankolonialisme✊

#Perjuangansampaimenang🔥




Tidak ada komentar

Gambar tema oleh sebastian-julian. Diberdayakan oleh Blogger.