Segerah Bebaskan Tahanan Politik

 

AMP-KK Bali Menyatakan Sikap Untuk Segerah Bebaskan Tahanan Politik dan Stop Perburuan Aktivis-Lawan Ketakutan !

 Simak Video Lengkapnya !!

        Sejarah mencatat bahwa sejak Reformasi 1998, belum pernah terjadi penangkapan dan kriminalisasi terhadap rakyat dalam jumlah sebesar ini, selain operasi militer di Aceh dan Papua. Data yang terhimpun terakhir pada 26 September 2025 menunjukkan 5.444 orang ditangkap dalam Perlawanan Agustus, 997 ditetapkan sebagai tersangka dengan 295 di antaranya adalah anak-anak. Terdapat kemungkinan kriminalisasi tersebut akan terus berlanjut. Setidaknya 46 orang dinyatakan hilang, dengan 33 orang di antaranya menjadi korban penghilangan paksa oleh aparat dan hingga hari ini, 2 orang belum ditemukan.

        Kekejaman rezim dengan menggabungkan kekuatan militerisi ini terjadi juga khususnya di Papua. Campur tangan militer di Tanah Papua terus terjadi bahkan dalam rentetan Perlawanan Agustus. Data yang terhimpun pada 27-28 Agustus 2025, Polresta Kota Sorong melakukan penangkapan 24 orang masa aksi-yang mana hal ini buntut dari protes pemindahan empat Tapol Papua ke Makassar. 16 orang di antaranya dibebaskan setelah negosiasi panjang antara keluarga, Majelis Rakyat Papua (MRP), dengan polisi pada 30 Agustus 2025. Sementara sisanya, dipaksa untuk meminta maaf dan mengaku bersalah yang kemudian dapat dibebaskan dalam kurun waktu 1 minggu kemudian. Sementara itu, 2 orang lainnya ditembak dan meninggal dunia di Kota Sorong dan Manokwari.

        Pada 23 September 2025, polisi melakukan penangkapan sebanyak 13 orang aktivis KNPB yang membagi selebaran berkaitan Hari Tani Nasional di Sentani, Jayapura. Kriminalisasi ini terus berlanjut. Pada 30 September 2025-polisi melakukan penahanan 4 orang masa aksi pada momentum Roma Agremeent, yang mana korban tersebut merupakan mahasiswa Universitas Cendrawasih yang kemudian dijatuhkan sanksi wajib lapor.

        Sementara itu, 4 Tahanan Politik yang sebelumnya ditahan secara paksa saat mengantar surat perundingan damai untuk penyelesaian konflik Papua dari organisasi Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) masih menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri (PN) Makassar hingga saat ini. Abraham Goram Gaman (55), Maksi Sangkek (39), Piter Robaha (54), dan Nikson Mau (56) merupakan aktivis Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) yang ditangkap oleh Polresta Sorong pada 28 April 2025 karena menyebarkan surat dialog ke berbagai lembaga pemerintah. Tindakan mereka dituduh makar oleh polisi, diancam dipenjara seumur hidup atau dua puluh tahun. Sampai sekarang, termasuk mereka yang masih disidang dan warga di daerah konflik bersenjata, setidaknya 79 narapidana politik Papua masih dipenjara.

        Tindakan represif yang terjadi sepanjang Perlawanan Agustus tidak berhenti pada penangkapan massal. Rezim kemudian melanjutkan dengan penegasan kebijakan peninggalan Jokowi dan pembuatan kebijakan baru. Prabowo menegaskan bahwa demonstrasi atau aksi massa harus bubar pada pukul 18:00 WIB. Selain itu, muncul juga Perkapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Kepolisian RI. Aturan internal ini absurd karena melampaui batasan “internal” itu sendiri dengan mengatur penindakan tegas hingga menggunakan senjata api peluru karet maupun tajam untuk orang-orang yang dianggap “menyerang” kantor kepolisian. Dengan demikian, Perlawanan Agustus juga menjadi penanda bahwa demokrasi yang sejak 1998 kini berada di titik paling genting. Kebebasan sipil kian menyempit, hak-hak politik rakyat kian tergerus, dan negara secara terang-terangan memperlihatkan wajah otoriternya. Rezim Prabowo-Gibran melancarkan penangkapan dan kriminalisasi terbesar paska Reformasi 1998.

        Brutalitas negara bukanlah hal yang baru sama sekali, hal itu seperti sudah menjadi inheren dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Sebelum represi dan kriminalisasi besar-besaran terhadap rakyat dan terutama massa aksi perlawanan Agustus, aparat telah menunjukkan pola kekerasan yang sama pada sejumlah momentum. Pada aksi May Day 2025 di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jakarta yang diinisiasikan oleh GEBRAK, pemerintah mengerahkan sebanyak 4.793 aparat gabungan TNI Polri. Di Jakarta, polisi menetapkan 14 orang sebagai tersangka dengan melabeli mereka sebagai anarko. Beberapa di antaranya adalah petugas medis. Di depan massa aksi yang lain, polisi melecehkan massa aksi perempuan secara verbal dan fisik. Massa aksi di Semarang dijebak, ditangkap dalam ambulans. Di Jawa Tengah, kampus dikepung. Polisi juga kerap menggunakan label “anarko” untuk melakukann pembingkaian terhadap masa aksi. Hal yang sama juga terjadi di bali pada aksi, 30 Agustus 2025 massa aksi di jebak, polisi menjadi actor utama terjadinya aksi ceos, sehingga masa aksi ditangkap secara paksa dan brutal bahkan tindakan represifitas oleh pihak keamanan juga dialami oleh tim medis dan wartawan.

        Pada 19 Mei 2025, polisi juga melakukan penangkapan kepada 27 warga Maba Sangaji pada upacara adat yang diadakan dalam rangka menolak penambangan nikel oleh PT. Position. Sebanyak 11 dari keseluruhan ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan mereka membawa senjata tajam.

        Selain Tapol Maba Sangaji,  ada  8  wargamasyarakat Adat Suku Soge Natarmage -Goban Runut,  dan ⁠2 Masyarakat Adat Mentawai yang masuk kategori Tapol Lingkungan. Walhasil, jika kita jumlahkan dari Tapol Agustus, Papua, Maluku, Lingkungan dan Agraria, lebih dari 1000 orang telah ditahan dan dipidanakan karena pikiran dan ekspresi politiknya.

        Di sisi lain, kerusuhan yang terjadi sepanjang Perlawanan Agustus justru menunjukkan adanya bukti keterlibatan militer di tengah-tengah massa aksi dengan cara menyamar. Media Tempo, melalui investigasinya juga berhasil menunjukkan bahwa terdapat keterlibatan seorang provokator dalam aksi-aksi penjarahan. Kami juga masih mengingat bagaimana operasi pembakaran Halte Sarinah 2020 lalu merupakan suatu operasi yang ditujukan untuk mendiskreditkan aksi massa. Pada akhirnya rezim hari ini sama, tipikal menggunakan teori dalang untuk mengibliskan aksi massa dan ideologi politik tertentu sebagai dalih untuk melakukan represi terhadap aksi massa. 

Untuk itu kami yang tergabung dalam aliansi Solidaritas Rakyat untuk Pembebasan Tapol bersikap:

  1. Bebaskan seluruh tahanan politik–mereka yang ditangkap karena menyatakan  sikap politik–tanpa syarat!
  2. Tangkap, adili, dan penjarakan pelaku pelanggaran HAM, baik pelaku dalam rangkaian aksi Perlawan Agustus, ataupun jendral-jendral pelanggar HAM masa lalu!
  3.  Stop Perburuan Aktivis!
  4. Bentuk Tim Investigasi Independen & Usut Peran Militer dalam Aksi Agustus
  5. untaskan Reformasi dan Atur Ulang TNI dan Polri!
  6. Lawan Kebangkitan Militerisme dan Sisa Orba!
  7. Stop mobilisasi Militer Organik dan Non Organik ke Tanah Papua!
  8. Buka ruang demokrasi seluas-luasnya bagi jurnalis nasional maupun  internasional di tanah Papua
  9. Polda Bali stop menggiring isu diskriminasi dan Mengutuk keras tindakan diskriminasi, rasis yang di lakukan oleh Kapolda Bali kepada massa aksi 30 Agustus 2025.
  10. Lawan ‘Cipta Kondisi’ Ketakutan (Fear Mongering)

Solidaritas Rakyat untuk Pembebasan Tapol:  Pembebasan, KMP2, AMPTPI, FRI-WP, AMP, PS, Resistance, Comrade, PPR, GSPB, SGBN, PHI, Perempuan Mahardhika, Sempro, GMNI Jaksel, F-Sebumi, FGBK, WALHI, FNKSDA, SPRI, FMN, AJAR, IMAPA.

 

Denpasar-Bali-Rabu,15 Oktober 2025

 

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh sebastian-julian. Diberdayakan oleh Blogger.